Friday, June 4, 2010

Ketenangan, Kesabaran, Pedoman & Petunjuk

Ya Allah ya Tuhan ku, berikan aku ketenangan dan kesabaran ketika menghadapi apa jua situasi, pedoman dan petunjuk ketika membuat sebarang keputusan. Berikanlah aku kejayaan dalam apa jua yang aku usahakan. Tiada daya upaya ku melainkan dengan kekuatan dari Mu ya Allah.

Wednesday, June 2, 2010

Al-Ashr

1. Demi Masa!

2. Sesungguhnya manusia itu Dalam kerugian

3. Kecuali orang-orang Yang beriman dan beramal soleh, dan mereka pula berpesan-pesan Dengan kebenaran serta berpesan-pesan Dengan kesabaran.

Tuesday, June 1, 2010

HUKUM KENCING SAMBIL BERDIRI

HUKUM KENCING SAMBIL BERDIRI


"Artikel ini petikan dari email yang di forward kepada saya, infonya sangat berguna sebagai panduan amalan seharian kita. Harap dapat menjadi rujukan yang baik untuk semua. Pesan Baginda Rasulullah, "Sampaikanlah daripadaku walau satu ayat"."


Ada lima hadits yang membicarakan mengenai masalah ini. Tiga hadits adalah hadits yang shahih. Sedangkan dua hadits lainnya adalah dho’if (lemah).



Hadits Pertama

Hadits pertama ini menceritakan bahwa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yaitu ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha mengingkari kalau ada yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi pernah kencing sambil berdiri.

‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- mengatakan,

مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُوْلُ قَائِمًا فَلاَ تُصَدِّقُوْهُ مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلاَّ قَاعِدًا

“Barangsiapa yang mengatakan pada kalian bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri, maka janganlah kalian membenarkannya. (Yang benar) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa kencing sambil duduk.” (HR. At Tirmidzi dan An Nasa’i. Syaikh Al Albani mengatakan dalam As Silsilah Ash Shahihah no. 201 bahwa hadits ini shahih). Abu Isa At Tirmidzi mengatakan, “Hadits ini adalah hadits yang lebih bagus dan lebih shahih dari hadits lainnya tatkala membicarakan masalah ini.”

Hadits Kedua

Hadits ini menceritakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri. Bukhari membawakan hadits ini dalam kitab shahihnya pada Bab “Kencing dalam Keadaan Berdiri dan Duduk.”

Hudzaifah –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

أَتَى النَّبِىُّ ، ( صلى الله عليه وسلم ) ، سُبَاطَةَ قَوْمٍ ، فَبَالَ قَائِمًا ، فَدَعَا بِمَاءٍ ، فَجِئْتُهُ بِمَاءٍ ، فَتَوَضَّأَ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendatangi tempat pembuangan sampah milik suatu kaum. Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil berdiri. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta diambilkan air. Aku pun mengambilkan beliau air, lalu beliau berwudhu dengannya.” (HR. Bukhari no. 224 dan Muslim no. 273).

Hadits ini tentu saja adalah hadits yang shahih karena disepakati oleh Bukhari dan Muslim. Ibnu Baththol tatkala menjelaskan hadits ini mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil bolehnya kencing sambil berdiri.”[1]

Hadits Ketiga

Hadits berikut menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil duduk.

‘Abdurrahman bin Hasanah mengatakan,

خَرَجَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم وَهُوَ فِي يَدِهِ كَهَيْئَةِ الدَّرَقَةِ قَالَ : فَوَضَعَهَا ، ثُمَّ جَلَسَ فَبَالَ إِلَيْهَا

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah keluar bersama kami dan di tangannya terdapat sesuatu yang berbentuk perisai, lalu beliau meletakkannya kemudian beliau duduk lalu kencing menghadapnya.” (HR. Abu Daud, An Nasa’i, Ibnu Majah, dan Ahmad. Syaikh Al Albani dalam Misykatul Mashobih mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Hadits Keempat

Hadits berikut ini membicarakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melarang Umar kencing sambil berdiri, namun hadits ini adalah hadits yang dho’if (lemah).

‘Umar –radhiyallahu ‘anhu- berkata,

رَآنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَبُولُ قَائِمًا فَقَالَ :« يَا عُمَرُ لاَ تَبُلْ قَائِمًا ». قَالَ فَمَا بُلْتُ قَائِمًا بَعْدُ.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihatku kencing sambil berdiri, kemudian beliau mengatakan, “Wahai ‘Umar janganlah engkau kencing sambil berdiri.” Umar pun setelah itu tidak pernah kencing lagi sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi dan Ibnu Majah)

Syaikh Al Huwainiy –ulama hadits saat ini- mengatakan, “Ibnul Mundzir berkata bahwa hadits ini tidak shahih. Adapun Asy Syaukani sebagaimana dalam As Sail Al Jaror mengatakan bahwa As Suyuthi telah menshohihkan hadits ini!! Boleh jadi As Suyuthi melihat pada riwayat Ibnu Hibban. Lalu beliau tidak menoleh sama sekali pada tadlis yang biasa dilakukan oleh Ibnu Juraij. Sebagaimana kita ketahui pula bahwa As Suyuthi bergampang-gampangan dalam menshohihkan hadits. Kemudian hadits ini dalam riwayat Ibnu Hibban dikatakan dari Ibnu ‘Umar. Namun sudah diketahui bahwa hadits ini berasal dari ‘Umar (ayah Ibnu ‘Umar). Saya tidak mengetahui apakah di sini ada perbedaan sanad ataukah hal ini tidak disebutkan dalam riwayat Ibnu Hibban?!”[2]

Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan, “Hadits ini dho’if (lemah). Yang tepat, tidaklah mengapa seseorang kencing sambil berdiri asalkan aman dari percikan kencing. Al Hafizh Ibnu Hajar dalam Al Fath mengatakan, “Tidak terdapat dalil yang shahih yang menunjukkan larangan kencing sambil berdiri.” Dari Nafi’, dari Ibnu ‘Umar, dari ‘Umar, beliau berkata, “Aku tidak pernah kencing sambil berdiri sejak aku masuk Islam”. Sanad hadits ini shahih. Namun dari jalur lain, dari Zaid, beliau berkata, “Aku pernah melihat ‘Umar kencing sambil berdiri”. Sanad hadits ini juga shahih. Oleh karena itu, hal inilah yang dilakukan oleh ‘Umar dan ini menunjukkan telah jelas bagi ‘Umar bahwa tidak mengapa kencing sambil berdiri”.”[3]

Hadits Kelima

Hadits berikut menunjukkan bahwa kencing sambil berdiri adalah termasuk perangai yang buruk, namun hadits ini juga adalah hadits yang dho’if (lemah).

Dari Buraidah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثلاثٌ مِنَ الجَفاءِ أنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قائِماً أوْ يَمْسَحَ جَبْهَتَهُ قَبْلَ أنْ يَفْرَغَ مِنْ صَلاتِهِ أوْ يَنْفُخَ في سُجُودِهِ

“Tiga perkara yang menunjukkan perangai yang buruk: [1] kencing sambil berdiri, [2] mengusap dahi (dari debu) sebelum selesai shalat, atau [3] meniup (debu) di (tempat) sujud.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam At Tarikh dan juga oleh Al Bazzar)

Syaikh Al Huwaini –hafizhahullah- mengatakan, “Yang benar, hadits ini adalah mauquf (cuma perkataan sahabat) dan bukan marfu’ (perkataan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam).” Di tempat sebelumnya, Syaikh Al Huwaini mengatakan bahwa hadits ini ghoiru mahfuzh artinya periwayatnya tsiqoh (terpercaya) namun menyelisihi periwayat tsiqoh yang banyak atau yang lebih tsiqoh.[4] Jika demikian, hadits ini adalah hadits yang lemah (dho’if).

Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan bahwa hadits ini adalah hadits dho’if (lemah).[5]

Terdapat perkataan yang shahih sebagaimana hadits Buraidah di atas, namun bukan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi perkataan Ibnu Mas’ud.

Ibnu Mas’ud –radhiyallahu ‘anhu- mengatakan,

إِنَّ مِنَ الجَفَاءِ أَنْ تَبُوْلَ وَأَنْتَ قَائِمٌ

“Di antara perangai yang buruk adalah seseorang kencing sambil berdiri.” (HR. Tirmidzi). Syaikh Al Huwaini mengatakan bahwa periwayat hadits ini adalah periwayat yang tsiqoh (terpercaya). Syaikh Al Albani –rahimahullah- mengatakan dalam Shahih wa Dha’if Sunan At Tirmidzi bahwa hadits ini shahih. Inilah pendapat Ibnu Mas’ud mengenai kencing sambil berdiri.

Menilik Perselisihan Para Ulama

Dari hadits-hadits di atas, para ulama akhirnya berselisih pendapat mengenai hukum kencing sambil berdiri menjadi tiga pendapat.

Pendapat pertama: dimakruhkan tanpa ada udzur. Inilah pendapat yang dipilih oleh ‘Aisyah, Ibnu Mas’ud, ‘Umar dalam salah satu riwayat (pendapat beliau terdahulu), Abu Musa, Asy Sya’bi, Ibnu ‘Uyainah, Hanafiyah dan Syafi’iyah.

Pendapat kedua: diperbolehkan secara mutlak. Inilah pendapat yang dipilih oleh ‘Umar dalam riwayat yang lain (pendapat beliau terakhir), Zaid bin Tsabit, Ibnu ‘Umar, Sahl bin Sa’ad, Anas, Abu Hurairah, Hudzaifah, dan pendapat Hanabilah.

Pendapat ketiga: diperbolehkan jika aman dari percikan, sedangkan jika tidak aman dari percikan, maka hal ini menjadi terlarang. Inilah madzhab Imam Malik dan inilah pendapat yang dipilih oleh Ibnul Mundzir.[6]

Pendapat Terkuat

Pendapat terkuat dari pendapat yang ada adalah kencing sambil berdiri tidaklah terlarang selama aman dari percikan kencing. Hal ini berdasarkan beberapa alasan:

1. Tidak ada hadits yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kencing sambil berdiri selain dari hadits yang dho’if (lemah).

2. Hadits yang menyebutkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kencing sambil duduk tidaklah bertentangan dengan hadits yang menyebutkan beliau kencing sambil berdiri, bahkan kedua-duanya diperbolehkan.

3. Terdapat hadits yang shahih dari Hudzaifah bahkan hadits ini disepakati oleh Bukhari dan Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri.

4. Sedangkan perkataan ‘Aisyah yang mengingkari berita kalau Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu kencing sambil berdiri hanyalah sepengetahuan ‘Aisyah saja ketika beliau berada di rumahnya. Belum tentu di luar rumah, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak kencing sambil berdiri. Padahal jika seseorang tidak tahu belum tentu hal tersebut tidak ada. Mengenai masalah ini, Hudzaifah memiliki ilmu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah kencing sambil berdiri. Jadi, ilmu Hudzaifah ini adalah sanggahan untuk ‘Aisyah yang tidak mengetahui hal ini.

Itulah sedikit ulasan mengenai kencing sambil berdiri. Semoga pembahasan ini bisa menjawab masalah dari beberapa pembaca yang belum menemukan titik terang mengenai permasalahan ini.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Allahumman fa’ana bimaa ‘allamtana, wa ‘alimna maa yanfa’una wa zidnaa ‘ilmaa. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.

Disusun berkat karunia Allah di malam hari, 10 Jumadil Ula 1430 H di rumah mertua tercinta

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal



[1] Syarh Shahih Al Bukhari Libni Baththol, 1/334, Maktabah Ar Rusyd

[2] Al Fatawa Al Haditsiyah Lil Huwainiy, 1/174

[3] As Silsilah Adh Dho’ifah no. 934

[4] Lihat Al Fatawa Al Haditsiyah Lil Huwainiy, 1/295-297

[5] Shahih wa Dho’if Al Jaami’ Ash Shogir no. 6283

[6] Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 1/96, Al Maktabah At Taufiqiyah


"Di harap dapat memberi pengajaran dan pedoman" Aminnnnnnnn

Sunday, May 30, 2010

Rotan & Anak

Artikel ni aku dapat daripada email yang isteri tersayang aku forward kat aku. Isteri ni pun dapat artikel ni dari sumber internet. Tetapi pada aku ada sesuatu yang boleh diambil sebagai pengajaran dari cebisan tulisan penulis ini. Aku sendiri pun selepas membaca email dari isteri ni, terus tersandar kat kerusi yang aku duduk sekarang ni. Aku mula terbayang corak didikan yang sudah terapkan pada permata-permata hati aku. Bukan aku tak pernah tahu tentang perkara macam ni, tapi artikel ni umpama peringatan semula terhadap diri insan yang selalu lupa asal usul dan matlamat hidup. Sudilah membaca, semoga sama-sama kita mengambil iktibar dari penulis.

Mula artikel

"Anda kata anda seorang ibu? Anda kata anak lelaki anda berusia 3 tahun? Anda kata anda memarahinya dan merotannya? Umur 3 tahun? Anda memarahi dan merotannya?


Maafkan saya. Walaupun anda datang ke sini meminta doa, izinkan saya memberikan pendapat saya terhadap cara anda melayan anak.

Pada saya, anak pada usia 3 tahun, bukanlah umur yang sesuai untuk dimarah dan dirotan. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana anda sanggup merotan seorang budak berumur 3 tahun. Saya secara jujurnya, amat tidak bersetuju. Anda tahu, anak itu akan membesar menjadi lebih degil, malah kemungkinan dia akan membesar dalam kebencian kepada anda.

Anak, terdapat beberapa peringkat dalam kita hendak memberikan didikan kepadanya. Pertama, peringkat raja. Semenjak lahir, hingga umur sekitar 9-10 tahun, maka dia adalah raja yang kita layan penuh kasih sayang.

Penuh kasih sayang di sini, bukanlah kita turuti apa sahaja permintaannya, dan menyumbatkan dunia dalam hatinya. Tetapi kita didiknya dengan sebaik mungkin. Menumpahkan kasih sayang, mengajarnya dengan lembut, dan bersabar dengan segala kerenahnya. Kalau ada perkara yang kita tidak setuju dengannya, maka kita akan luahkan dengan cara terlembut sekali. Bila dia buat salah atau perkara yang kurang menyenangkan, sepatutnya kita tegur dengan cara yang berhikmah.

Apabila dia berumur sekitar 10 tahun, maka itu adalah fasa dia menjadi hamba. Yakni hamba kepada ibu bapanya. Di situ, kita mula memberikan tugasan-tugasan, menetapkan peraturan kepadanya dan sebagainya. BIla dia membantah, maka ketika itu kita dibenarkan merotannya. Perasankah anda dengan hadith Rasulullah SAW berkenaan mengajar anak solat?

RAsulullah SAW bersabda: Didiklah anak kamu dengan solat semenjak berumur 7 tahun. Bila dia mencapai umur 10 tahun, jika dia membantah, maka pukul lah dia

Lihat. kenapa umur 10 tahun baru kita disuruh menghukum anak? Hal ini kerana, Rasulullah SAW hendak mengajar kita untuk menghukum anak dalam keadaan dia faham kenapa dia dihukum. Kita menghukum bukan kerana kita marah. Kta menghukum sebab kita hendak mendidik. Di dalam jiwa, langsung tiada api kemarahan yang memercik di dalam diri kita saat kita menghukumnya. Jika ada, lebih baik anda jangan menghukum, kerana hasilnya tidak akan menjadi baik. Anak anda akan menjadi orang yang memberontak. Kerana dia nammpak anda menghukumnya kerana memuaskan nafsu amarah anda sahaja.

Kemudian, bila anak berumur belasan tahun, sekitar 15 tahun ke atas, kita perlu menganggapnya sebagai teman kita. Berkongsi masalah dengannya agar dia juga tidak berselindung dengan kita. Fasa ini rasanya tidak perlu saya jelaskan, memandangkan anak anda baru berumur 3 tahun.

Saya hendak nyatakan di sini. Memang ada doa khusus untuk mendoakan anak. Tetapi saya membuat keputusan untuk tidak memberikannya di sini. Percaya bahawa dengan doa sahaja segalanya akan berubah, adalah satu kepercayaan yang tidab benar sebenarnya. Memang, ALLAH boleh lakukan apa sahaja. Tetapi, ALLAH SWT menuntut kita untuk berusaha juga.

Hakikatnya, kalau anda membesarkan anak anda dengan kasih sayang, dan mendidiknya dengan didikan ISLAM yang sebenar, insyaALLAH, ALLAH akan membantu anda, walaupun anda setiap kali lepas solat hanya mendoakan:

Ya ALLAH, jadikanlah anak aku anak yang soleh

Doa anda, dengan usaha anda, akan menarik hijab anda dengan ALLAH, sekaligus ALLAH akan menurunkan pertolonganNya untuk menjaga anak anda.

Pokoknya, bagaimanakah anda membesarkan anak anda?

Dengan rotan sedari umur 3 tahun? Saya tidak nampak bagaimana anak anda hendak mengasihi anda.

Jangan hanya tahu memberi alasan ” Ibu rotan ni sebab ibu sayang”

Adakah anak umur 3 tahun akan faham?

Hentikanlah rotan anda itu. Jagalah anak anda dengan sebaiknya, penuh kasih sayang, bebas dari kebencian, dengan mengharapkan dia membesar mencari redha ALLAH SWT."
Tamat artikel.

Teringat aku pesan MAK BAPAK aku, jangan di pukul anak-anak, jangan terlalu di marah anak-anak, nanti KERAS HATINYA. Ya! ada benarnya! Fikir-fikirkan lah.

Teringat pulak aku kat arwah atuk aku sebelah mak, bukan sebarang juga arwahnya ni, tapi mak aku cerita, marah macam mana pun, tidak dia mengangkat tangan memukul anak-anaknya(mak dan pakcik makcik aku lah tuh), tetapi kalau dah dia naik angin sekali pun, dia akan ambil kain, di LIBAS nya. nasib la siapa yang kena tu. Jangan haraplah kulit tangan arwah ni nak kena pada kulit anak-anak dia (memukul). Lagi satu pesan arwah yang aku ingat, "kalau nak masuk hutan(zaman kita ni, nak pi opis kerja lah), jangan kau toleh lagi kebelakang melihat keluarga kau selepas kau memulakan langkah keluar mencari rezeki!". Bertahun baru aku faham nasihat arwah, bertahun baru aku memahami, mengerti, apa yang tersirat dalam nasihat arwah.